CIKAL BAKAL KOTA PALANGKA RAYA
1. Tata Pemerintahan Abad 18 dan 19
Tercatat
dalam Buku Sejarah Propinsi Kalimantan Selatan bahwa Sultan Banjarmasin
Sultan Tahmidullah II pada tahun 1787 menyerahkan kemerdekaan dan
kedaulatan kerajaan kepada VOC (Verenigde Oost Indische Company) yang
ditandai dengan Akte Penyerahan (Acte van afstand) tertanggal Kayutangi,
17-8-1787. Akte penyerahan tersebut ditandatangani oleh Sultan
Tahmidullah di depan Residen Walbeck. Hal ini terjadi setelah Sultan
Tahmidullah berhasil menguasai tahta kerajaan dengan bantuan VOC dan
selanjutnya Kerajaan Banjarmasin menjadi daerah taklukan VOC.
Menurut
kepercayaan leluhur suku Dayak, nenek moyang suku Dayak diturunkan
dengan memakai wahana Palangka Bulau. Palangka berarti tempat yang suci,
Bulau berarti emas atau logam mulia, sedangkan Raya berarti besar.
Dengan demikian, Palangka Raya berarti tempat suci dan mulia yang besar.
Gubernur berpesan “sesuaikanlah nama ini dengan cita-cita dilahirkannya
Kalimantan Tengah”, lalu diingatkan oleh Gubernur Milono seraya
mengungkapkan : “…. Kalimantan Tengah yang dilahirkan dalam suasana suci
Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Paskah agar tetap memlihara kesucian
dan kemuliaan ……. ” Demikianlah akhirnya Kota Palangka Raya menjadi
ibukota Propinsi Kalimantan Tengah.
Sebagaian besar masyarakat masih
percaya bahwa nama Palangka Raya diberikan oleh Presiden Soekarno pada
waktu pemancangan tiang pertama pembangunan Kota Palangka Raya.
Namun
berdasarkan bukti-bukti yang kuat, nama itu disepakati oleh para
pemimpin Kalimantan Tengah baik yang duduk di pemerintahan maupun di
tengah masyarakat, serta diumumkan oleh Gubernur RTA. Milono 2 (dua)
bulan sebelum Presiden Soekarno datang ke Palangka Raya. Berita tentang
pemberian nama Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah itu sendiri telah di
muat di Surat Kabar Harian (SKH) Bintang Timur Jakarta pada tanggal 22
Mei 1957.
Berdasarkan akte penyerahan tersebut, Sultan
Tahmidullah juga menyerahkan status wilayah kekuasaannya termasuk
Daerah-Daerah Dayak (Dajaksche provintien) ke bawah kekuasaan VOC.
Setelah VOC dinyatakan bangkrut dan bubar, selanjutnya penguasaan daerah
bekas taklukan VOC diambil alih oleh Kerajaan Belanda melalui Gubernur
Jendral Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Dengan demikian,
daerah Dayak juga berada di bawah kekuasaan Gubernur Jendral Hindia
Belanda.
Pada tanggal 1 Januari 1817, ditandatangani Kontrak
Persetujuan Karang Intan I oleh Sultan Sulaiman di depan Residen
Aernout van Boekholzt dari Pemerintah Hindia Belanda. Enam tahun
kemudian, yakni tanggal 13 September 1823, dilakukan alterasi dan
ampliasi (perubahan, peralihan, penambahan, perluasan dan penyempurnaan)
yang dikenal dengan nama Kontrak Persetujuan Karang Intan II. Kontrak
tersebut juga ditandatangani oleh Sultan Sulaiman di depan Residen Mr.
Tobias.
Berdasarkan Kontrak persetujuan kedua ini, Sultan melepaskan
secara penuh hak-haknya atas seluruh kawasan di Kalimantan yang dianggap
sebagai wilayah Kerajaan Banjarmasin itu, termasuk yang disebut Belanda
sebagai Daerah-Daerah Dayak (Dajaksche provintien). Pihak Pemerintah
Hindia Belanda kemudian melakukan pemetaan di kawasan Dajaksche
provintien. Sungai Kahayan dalam pemerintahan Belanda disebut Groote
Dajak Rivier sedang Sungai Kapuas disebut Kleinee Dajak Rivier
Sebelum
adanya Akte Penyerahan Kayutangi tersebut, wilayah Dajaksche provintien
yang kini dikenal sebagai wilayah Propinsi Kalimantan Tengah, tidak
langsung dikuasai VOC. Ketika Perang Banjar (1859-1865) usai dengan
Belanda sebagai pemenangnya, suku Dayak masih melanjutkan pertempuran
melawan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Barito (1865-1905).
Tetapi akibat akte penyerahan serta Kontrak Perjanjian Karang Intan I
dan II, tertancaplah kekuasaan penjajah Belanda di Kalimantan.
Namun
penguasaan wilayah yang sangat luas itu tidak berlangsung mulus. Belanda
mengalami kekurangan tenaga dalam mengelola pemerintahan meskipun telah
dilakukan pembagian wilayah. Belanda kemudian membatasi kekuasaan
langsungnya pada tingkat Onderafdeling saja, sedangkan untuk
pemerintahan distrik dan Onderdistrik, Belanda menggunakan para petinggi
suku Dayak. Beberapa Tamanggong dan Damang diangkat menduduki jabatan
Kepala distrik dan Kepala Onderdistrik.
Sejak tahun 1823, kawasan
yang disebut wilayah Dayak (Dajaksche provintien) dimasukkan dalam
wilayah yang disebut Kapoeas-Moeroeng gebied, yang merupakan bagian dari
Afdeling Marabahan yang berkedudukan di Marabahan dan dikepalai oleh
seorang residen. Afdeling Marabahan membawahi beberapa Onderafdeling,
salah satu diantaranya adalah Onderafdeling Koeala Kapoeas yang dipimpin
seorang Controleur. Salah satu distrik dilingkup Onderafdeling Koeala
Kapoeas adalah Distrik Pangkoh yang berkedudukan di Pangkoh. Wilayah
distrik Pangkoh meliputi seluruh aliran Sungai Kahayan, dan pada tahun
1872 dipimpin oleh Tamanggong Rambang sebagai kepala distrik.
Memasuki abad 20 (tahun 1913), kawasan Kapoeas-Moeroeng gebied dibentuk menjadi 2 afdeling yaitu :
(1) afdeling Dajaklanden (Tanah Dayak) berkedudukan di Banjarmasin, dan
(2) afdeling Dusunlanden (Tanah Dusun) berkedudukan di Muara Teweh.
Distrik Pangkoh yang sebelumnya membawahi seluruh aliran Sungai Kahayan dihapuskan dan dibentuk 2 onderafdeling,yaitu :
(1) onderafdeling Boven Dajak berkedudukan di Kuala Kurun, dan
(2)
onderafdeling Beneden Dajak berkedudukan di Kuala Kapuas. Desa/kampung
Pahandut terletak dalam onderafdeling Beneden Dajak. Kedua onderafdeling
termasuk dalam lingkup afdeling Dajaklanden.
Setelah proklamasi
(1946), afdeling Kapuas-Barito beserta seluruh onderafdeling-nya
dihapus. Bekas wilayah onderafdeling Beneden Dajak dipecah menjadi 2
distrik, yaitu :
(1) Distrik Kapuas dan
(2) Distrik Kahayan.
Distrik Kahayan itu sendiri terbagi menjadi 2 onderdistrik, yaitu :
(1) Onderdistrik Kahayan Hilir dengan ibukota Pulang Pisau, dan
(2) Onderdistrik Kahayan Tengah dengan ibukota Pahandut. Kepala Onderdistrik Kahayan Tengah yang pertama adalah G.T. Binti.
Sesudah
pemulihan kedaulatan dan Propinsi Kalimantan Tengah menjadi bagian
integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sebutan
distrik diganti menjadi kawedanan, sedangkan onderdistrik diganti
menjadi kecamatan. Onderdistrik Kahayan Tengah berganti menjadi
Kecamatan Kahayan Tengah dengan ibukota Pahandut. Setelah Pahandut
ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Tengah, pada tahun 1960
ibukota Kecamatan Kahayan Tengah dipindahkan ke Bukit Rawi.
2. Asal-usul Kampung Pahandut
Kampung
Pahandut merupakan salah satu kampung tertua di daerah aliran sungai
Kahayan bagian hilir, seperti halnya kampung Maliku, Pulang Pisau,
Buntoi, Penda Alai dan Gohong. Konon dikisahkan bahwa karena keadaan
tanah lahan bertani dan berkebun di Lewu Rawi (kemudian di kenal dengan
nama lewu Bukit Rawi) tidak cocok, tersebutlah pasangan suami-isteri
Bayuh dan Kambang memutuskan untuk mencari kawasan lain. Mereka kemudian
milir (mendayung perahu ke arah hilir) menyusuri Sungai Kahayan yang
akhirnya menemukan tempat yang cocok, sehingga kehidupan mereka menjadi
lebih baik. Khabar tentang tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian
serta perbaikan kehidupan kedua suami istri tersebut terdengar oleh
warga masyarakat lewu Rawi yang lain sehingga banyak sanak keluarga
yang berasal dari kampung tersebut bahkan bahkan warga dari kampung/desa
lain mengikuti jejak Bayuh dan Kambang pindah ke daerah baru itu.
Akhirnya
tempat tersebut berubah menjadi kawasan berusaha “metik” hasil hutan
(bahasa Dayak Ngaju : eka satiar, sekaligus membuka lahan untuk bertani,
yang disebut eka malan) kemudian berkembang menjadi tempat berusaha
bertani dan berkebun lalu menjadi tempat permukiman. Dalam bahasa Dayak
Ngaju hal yang demikian dinamakan Eka Badukuh, para warga menyebutnya
Dukuh ain Bayuh, singkatnya permukiman itu disebut Dukuh Bayuh.
Demikian
Dukuh Bayuh (dukuh, Badukuh tidak sama dengan pengertian Dukuh dalam
masyarakat Jawa, yang berarti lebih merupakan anak-desa atau desa
cabang) semakin lama semakin berkembang maju, karena ternyata daerah itu
dan sekitarnya memiliki sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya
antara lain lokasi pemungutan hasil hutan seperti damar, getah jelutung
(pantung), getah hangkang, katiau, dan rotan serta perairan sungai yang
kaya dengan berbagai jenis ikan terutama dikawasan Dataran Aliran
Sungai (DAS) Sebangau.
Dalam pada itu Dataran pematang (tanah tinggi )
terbentang dari sungai Kahayan menuju sungai Rungan disebut tangking
terkenal dengan nama Bukit Jekan (Jekan baca seperti jejer) dengan tanah
berbukit di Tangkiling pada kawasan tepi Barat sungai Kahayan,
sedangkan di bagian Timur, terdapat danau besar yang dinamakan Danau
Tundai dengan jumlah dan jenis ikan yang melimpah. Pada kawasan hulu dan
hilir dari Dukuh Bayuh tersebut juga terdapat puluhan danau kecil yang
banyak ikannya. Semuanya merupakan sumber mata pencaharian dan kehidupan
warga Dukuh Bayuh sekaligus menjadi daya tarik bagi pendatang dari
daerah lain untuk ikut berusaha di dukuh itu. Maka berubahlah Dukuh
Bayuh yang semula hanya tempat berusaha : bertani dan berkebun menjelma
menjadi lewu (desa), dan Bayuh tetap sebagai Pambakal (Kepala Desa).
Dukuh Bayuh yang berkembang maju tersebut telah menjadi Kampung (Desa)
dengan kehidupan warga makmur dan sejahtera.
Sementara itu
diceritakan bahwa terdapat seorang tokoh yang disegani oleh seluruh
warga masyarakat Dukuh Bayuh karena mempunyai kelebihan yang sangat
menonjol. Sang tokoh dianggap memiliki “kesaktian” dan “ilmu” serta oleh
masyarakat setempat dipercaya sebagai “orang pintar” Masyarakat Dukuh
Bayuh bahkan masyarakat dari daerah lain sering minta pertolongan pada
sang tokoh tentang berbagai hal. Sang Tokoh tersebut mempunyai
anak-sulung laki-laki yang bernama Handut; dan sesuai adat orang Ngaju
yang menganut ujaran teknonomi, yakni sepasang suami istri yang sudah
berumah tangga dan sudah mempunyai anak, biasa disapa (dipanggil)
secara akrab memakai nama anak sulung. Maka tokoh Desa Bayuh yang
“berilmu” itu sangat akrab disapa Bapa Handut.
Ketika usianya sudah
lanjut, Bapa Handut sering sakit-sakitan, dan ketika keadaan sakitnya
sudah parah nampaknya sulit menghembuskan nafas terakhir. Warga Desa
Bayuh merasa cemas dan prihatin atas penderitaan sang tokoh yang mereka
hormati. Akhirnya kehendak Tuhan pun terjadi dan wafatlah Bapa Handut
diiringi kesedihan dan isak tangis seluruh warga. Tokoh yang dihormati
dan disegani telah tiada.
Guna mengenang dan menghormati sang tokoh
yang sangat berpengaruh tersebut, semua warga masyarakat setuju Desa
Bayuh diubah namanya menjadi Desa PAHANDUT (yang berasal dari kata Bapa
Handut – panggilan akrab Sang Tokoh). Siapa nama asli Sang Tokoh itu,
ternyata orang keturunan “asli” desa Pahandut tidak dapat memberi
jawaban.
Dalam arsip Pemerintah Hindia Belanda nama Desa Pahandut
tercatat dalam laporan Zacharias Hartman, seorang pejabat Pemerintah
Hindia Belanda yang melakukan perjalanan menyusuri Sungai Kahayan dan
Sungai Kapuas pada Bulan Oktober 1823. Dalam laporan perjalanannya,
Orang Belanda pertama yang langsung menginjakkan kaki pada DAS Kahayan
dan Kapuas tersebut menyebutkan Desa Pahandut sebagai salah satu desa
yang dikunjungi.
Keberadaan Kampung Pahandut juga dilaporkan oleh
para misionaris (para pengabar Injil) dari Jerman. Pada tahun 1859,
Kampung Pahandut tercantum dalam peta yang dibuat para misionaris
tersebut, dan Kampung Pahandut merupakan salah satu pangkalan (stasi)
dari kegiatan penyebaran agama Kristen di sepanjang Sungai Kahayan.
Laporan selanjutnya dari para misionaris menyebutkan bahwa pada tahun
1896, Misionar G.A. Alt bertugas di Stasi Pahandut, dan telah terbentuk
jemaah Kristen dengan berdirinya bangunan gereja di Kampung itu. Letak
bangunan gereja tersebut diperkirakan berada di Jalan Kalimantan
sekarang. Pada tahun 1974, bangunan gereja yang terletak di tengah
jalan tersebut, dibongkar untuk keperluan pembangunan dan pengaspalan
jalan.
Dari notulen rapat Tumbang Anoi (tahun 1894) disebutkan bahwa
di kampung Pahandut telah berdiri sebanyak 8 (delapan) buah rumah
panjang (betang – rumah adat suku Dayak). Jika satu rumah betang berisi 5
(lima keluarga), maka paling sedikit Kampung Pahandut pada waktu itu
telah dihuni oleh 40 keluarga. Ini berarti, kampung itu sudah cukup
ramai.
3. Ngabe Anum Soekah
Ikhwal
pasangan suami-istri Bayuh-Kambang, mereka mempunyai 2 orang anak
laki-laki, yang sulung bernama Jaga sedang adiknya bernama Soekah.
Bayuh sampai hari tuanya tetap dipercayakan sebagai Kepala Desa
Pahandut dan di usia senjanya, Bayuh mengharapkan salah satu dari kedua
putranya untuk menggantikannya sebagai kepala kampung.
Jaga sebagai
anak tertua (sulung) tidak dapat menolak. Sebenarnya Jaga mengharapkan
adiknya, Soekah, yang menggantikan kedudukan/jabatan
ayah mereka,
namun karena Soekah menolak dengan alasan, dia masih mau merantau
(mengembara alias berkelana), akhirnya Jaga diangkat menjadi Kepala
Kampung Pahandut (Pambakal).
Dalam pengembaraannya itulah, pemuda
Soekah sampai di Puruk Cahu. Ketika itu Tamanggung Wangkang sedang
mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda yang dikenal dengan Perang
Wangkang, sekitar tahun 1870. Pemuda Soekah pun membantu dan maju ke
medan laga, bertempur melawan serdadu Belanda.
Sekembali Soekah dari
pengembaraannya dan berkumpul kembali dengan keluarganya di Pahandut,
Soekah terpilih menjadi Pambakal/Kepala Kampung Pahandut menggantikan
kakaknya, Jaga. Dalam kedudukannya sebagai Kepala Desa Pahandut, atas
jasa-jasanya dalam memimpin dan membina Desa Pahandut, sehingga seluruh
warganya dapat menikmati kehidupan makmur dan sejahtera, Pemerintah
Hindia Belanda memberi gelar NGABE ANUM kepada Soekah. Dengan demikian,
Pambakal Desa Pahandut adalah Ngabe Anum Soekah. Namun sebutan yang
lebih terkenal dalam masyarakatnya adalah sebutan akrab tetapi
mengandung rasa hormat yaitu Ngabe Soekah. Berdasarkan informasi H.
Basrin Inin, pada masa kepemimpinan Ngabe Soekah, Kampung Pahandut
menjadi kampung yang paling ramai dikunjungi pendatang dan tercipta
perdamaian, keamanan dan kenyamanan dari penduduknya yang berasal dari
berbagai suku, ras dan agama.
Sandung Ngabe Soekah terletak di
pertigaan Jalan Darmosugondo dan Jalan Dr. Murjani (di depan terminal
sementara). Sebelumnya telah didirikan sandung oleh Bayuh pada tahun
1783, kemudian dipugar menjadi lebih besar oleh Ngabe Soekah pada tahun
1848. Pada waktu itu, lokasi sandung Ngabe Soekah ini dinamakan dengan
Bukit Ngalangkang. Di kemudian hari banyak peristiwa mengambil tempat di
Bukit Ngalangkang ini misalnya pengumuman nama Kota Palangka Raya dan
peresmian Kotapraja Palangka Raya sebagai daerah otonom.
Pada masa
kepemimpinan Ngabe Soekah, salah seorang cucunya yang bernama Herman
Syawal Toendjan (HS. Toendjan) diangkat menjadi Damang. Sesudah Ngabe
Soekah berusia lanjut, ditunjuk cucunya yang lain yang bernama Willem
Dean sebagai kepala kampung selama 2 tahun, selanjutnya sekitar tahun
1940 diangkat Abd Inin (anak ketiga dari Ngabe Soekah) sebagai kepala
kampung yang baru. Abd Inin (kepala kampung) dan HS. Toendjan (Damang),
berkenalan dengan Tjilik Riwut dalam perjuangan mempertahankan
Kemerdekaan Republik Indonesia. Pertemuan kembali ketiga sahabat
tersebut terjadi lagi sekitar tahun 1957, ketika Tjilik Riwut beserta 7
orang tokoh yang ditugaskan untuk mencari ibukota Propinsi Kalimantan
Tengah berkunjung ke Kampung Pahandut.
4. Pahandut menjadi Palangka Raya
Sebagaimana
diuraikan pada bagian sebelumnya, Panitia yang bertugas untuk
merumuskan dan mencari daerah atau tempat yang pantas/wajar untuk
dijadikan Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah, yang telah mendapat
dukungan serta perhatian dari Para pejabat teras Pemerintah Daerah
Kalimantan Tengah dan Kalimantan serta Pemuka-Pemuka Masyarakat
Kalimantan Tengah, telah menjatuhkan pilihan dan menetapkan PAHANDUT
sebagai Calon Ibu Kota Propinsi Kalimantan Tengah.
Pemuka-Pemuka dan
Tokoh-tokoh Masyarakat Pahandut setelah mengetahui bahwa Pahandut, desa
mereka, akan dijadikan sebagai calon Ibu Kota Propinsi Kalimantan Tengah
menyambut dengan sangat antusias. Namun mereka juga menyadari bahwa
untuk pembangunan fisik dari Ibukota Propinsi diperlukan modal yang
tidak kecil dan dengan spontan mereka menyerahkan kepada Pemerintah
Propinsi Kalimantan Tengah, hak-hak atas tanah-tanah perwatasan milik
mereka, untuk dipergunakan dalam Pembangunan Ibukota.
Sambutan masyarakat yang sangat antusias tersebut diwujudkan dan dituangkan dalam suatu PERNYATAAN
pada tanggal 30 Januari 1957, yang menjadi dasar bagi Pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan. Pernyataan para tetuha dan pemuka masyarakat
Pahandut adalah sebagai berikut :
PERNYATAAN
Kami
yang bertanda tangan dibawah ini, ialah para Tetuha dan Pemuka Rakyat
di Pahandut (Kecamatan Kahayan Tengah) setelah mengetahui dan mendengar,
bahwa fihak Pemerintah ada mempunyai hasrat untuk untuk menjadikan
Pahandut sebagai Ibu Kota Propinsi Kalimantan Tengah, maka dengan ini
kami menyatakan kegembiraan dan terima kasih yang tidak terhingga
terhadap hasrat Pemerintah tersebut.
Menurut pengetahuan kami, memang
Pahandut adalah satu-satunya daerah yang cocok sekali untuk dibangun
menjadi Ibu Kota, baik dilihat dari segi pembangunan, maupun dari segi
perhubungan antar Daerah di Wilayah Kalimantan Tengah.
Oleh karena
itu, kami mengharap supaya hasrat Pemerintah yang hendak menjadikan
Pahandut sebagai Ibu Kota Propinsi Kalimantan Tengah, diteruskan hingga
menjadi kenyataan.
Kami para Tetuha da para Pemuka Rakyat Pahandut
akan membantu sepenuhnya dan menegaskan pula di sini, bahwa tanah-tanah
yang diperlukan untuk pembangunan Ibu Kota Propinsi Kalimantan Tengah
sepanjang kebutuhannya, kami bersedia untuk
memberikannya dengan
senang hati, dan tidak akan meminta pembayaran apa-apa, kalau seandainya
ada sebagian kecil yang sudah menjadi milik Rakyat,
Pahandut, 30 Januari 1957
Tanda Tangan Kami,
1. Abd. Inin d.t.t. Abd. Inin
2. St. Rasad d.t.t. St. Rasad
3. H. Tundjan d.t.t. H. Tundjan
4. Buntit Sukah d.t.t. Buntit Sukah
5. Dinan Gani d.t.t Dinan Gani
6. J. Rasan d.t.t. J.Rasan
7. Tueng Kaling d.t.t. Tueng Kaling
Pernyataan ini disampaikan dengan hormat kepada :
1. Yth. Gubernur/Pembentuk Propinsi Kalimanta tengah.
2. Yth. Acting Gubernur Kalimantan Selatan.
3. Inspeksi Pekerjaan Umum Propinsi Kalimantan.
4. Badan Pekerja Dewan Rakyat Kalimantan Tengah.
Dikutip dari : Tjilik Riwut (1958) Kalimantan Memanggil. Endang. Jakarta.
Catatan :
Singkatan dari nama Damang H.S. Tundjan dalam buku tersebut memang hanya H. Tundjan
(tanpa huruf S), namun dipastikan bahwa yang dimaksud adalah Damang Herman Syawal Tundjan (H.S. Tundjan).
Dalam
kenyataan sesungguhnya pembangunan Kota Palangka Raya dimulai, tidak
hanya masyarakat di kampung Pahandut saja yang merelakan tanahnya untuk
digunakan bagi pembangunan fisik Kota Palangka Raya. Masyarakat dari
kampung Jekan juga ikut berpartisipasi dalam menumbangkan
tanahnya untuk pembangunan Kota Palangka Raya. Sampai Tahun 1957, Kampung Pahandut,
memiliki 7 (tujuh) dukuh yaitu Kereng, Petuk Ketimpun, Hampapak, Tumbang Rungan, Jekan,
Marang dan Tahai. Di Kampung Pahandut ketika itu kira-kira 500-600 jiwa.
Nama Pahandut setelah ditetapkan menjadi ibukota Propinsi Kalimantan Tengah masih harus
dicari, nama tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan dari pembangunan kota tersebut.
Namun untuk sementara dinyatakan bahwa ibukota Propinsi Kalimantan Tengah adalah
Pahandut.
Guna mencari nama ibukota propinsi tersebut, Gubernur RTA. Milono
menugaskan Panitia yang sama dengan Panitia yang mencari dan merumuskan
calon Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah untuk mencari nama bagi
Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah.
Panitia terus bekerja keras
untuk mencari nama bagi ibukota itu. Mereka mengumpulkan berbagai
pendapat dari bermacam-macam kalangan antara lain pendapat/pandangan
dari tokoh-tokoh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah seperti Damang H.S.
Tundjan, Damang Saililah dan Tjilik Riwut termasuk saran dan pandangan
dari Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah RTA. Milono.
Akhirnya, nama ibukota itu berhasil disepakati dan disetujui sepenuhnya oleh Gubernur RTA.
Milono dan kepastian tentang nama itu akan diumumkan sendiri oleh Gubernur Propinsi
Kalimantan Tengah.
Demikianlah kurang lebih 4 bulan kemudian, dengan didahului upacara adat dari suku dayak
yang bertempat dilapangan Bukit Ngalangkang, Pahandut pada tanggal 18 Mei 1957 diumumkan
nama ibukota propinsi Kalimantan Tengah.
Gubernur RTA. Milono dalam pidatonya antara lain mengemukakan cita-cita beliau
bahwa
untuk memberi nama Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah harus disesuaikan
dengan jiwa pembangunan dan tujuan suci. Nama yang dipilih adalah PALANGKA RAYA.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menambah wawasan kita mengenai Kota
Palangka Raya propinsi Kalimantan Tengah
Sumber :http://citrabahana.blogspot.com/2009/01/kota-palangka-raya.html